Sejarah Perkembangan dari al-Qawa'id al-Fiqhiyyah


Hasil gambar untuk sejarah al-qawa'id

Adapun sejarah terbentuknya displin ilmu ini adalah sebagaimana ditulis al-Suyuti (w.911 H) dan ibnu Nujaym (w.970 H) dalam kitabnya masing-masing dengan nama al-Asbah wa al-Nazair nya, yaitu bahwa bermula dari al-Qadi Abu Sa'id al-Harawi (w. 488 H) yang mendapat kabar dari sebagian ulama mazhab hanafi bahwa Abu Tahir al-Dabbas salah seorang ulama besar mazhab Hanafi di abad 4 Hijriah telah meringkas seluruh masalah fiqih mazhab Hanafi hanya pada 17 kaidah saja. Akhirnya al-Harawi menuju kota tempat tinggal al-Dabbas. Dan al-Dabbas adalah seorang ulama yang buta. Ia punya kebiasaan mengulang-ulang (ngelalar jawa) ke 17 kaidah itu di masjidnya setiap malam setelah semua orang keluar dan ia mengunci pitu masjid. Maka pada suatu malam al-Harawi sengaja bersembunyi di masjid al-Dabbas untuk mendengar ke 17 kaidah itu, namun sayang baru 7 kaidah yang ia dengar tiba-tiba ia batuk, sehingga al-Dabbas tahu dan memukul nya serta diusir keluar masjid. Dan sejak peristiwa itu al-Dabbas tidak lagi ngelalar ke 17 kaidahnya. Dan al-Harawi pulang kerumahnya dan memperkenalkan 7 kaidah yang didapatnya itu kepada murid-muridnya. Sampai akhirnya 7 kaidah ini sampai ke telinga al-Qadi Husayn Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Marwazi (w. 462 H), maka ia meringkas seluruh maslah fiqih dalam mazhab safi'i pada 4 kaidah saja yang kemudian ditambah satu kaidah lagi oleh sebagian ulama mazhab safi'i, yaitu kaidah "al-Umur bi maqasidiha", dan kelima kaidah ini dikenal dalam mazhab Safi'i dengan istilah al-Qa'idah al-Kubra atau al-Asasiyyah (pokok).

Menurut 'Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawa'id fiqhiyyah dapat dibagi ke dalam tiga fase berikut:
  1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
  2. Fase perkembangan dan pengkodifikasian
  3. Fase pemantapan dan pematangan
Fase pertama, masa kerasulan dan masa pembentukan hukum islam merupakan embrio kelahiran qawa'id fiqhiyyah. Nabi muhammad menyampaikan hadis-hadis yang jawami' al-Kalim (singkat dan padat). Hadis-hadis itu dapat menampung masalah-masalah fiqih yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian Hadis Nabi Muhammad SAW di samping sebagai sumber hukum juga sebagai faktor utama yang mendorong lahirnya pemikiran di kalangan ulama untuk membentuk qawa'id fiqhiyyah, sperti hadis Nabi SAW : "La Darar wa la dirar (Tidak boleh memadratkan orang lain dan diri sendiri)".

Begitu juga Athar sahabat yang bersifat jawami' al-kalim dan dapat di anggap sebagai sesuatu yang menyerupai qawa'id fiqhiyyah di antaranya adalah perkataan 'Ali ibn Abi Talib (w.40 H)  yang diriwayatkan oleh 'Abd al-Razaq "orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian". Beberapa pernyataan Tabi'in dan para imam mujtahid yang dapat di anggap sebagai sesuatu yang menyerupai atau mirip dengan kaidah fiqih adalah antara lain pernyatan-pernyataan murid imam Abu Hanifah; Qadi Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (w.182 H) dalam kitab al-Kharaj, yaitu antara lain: "Hukum ta'zir diserahkan kepada penguasa sesuai dengan kadar besar kecilnya kesalahan". Bahkan al-Burnu menganggap kitab al-Kharaj bisa digolongkan sebagai kitab kaidah fiqih pertama yang muncul dalam sejarah.

Fase kedua, fase dimana qawa'id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada abad ke 4 hijriah, dan di matangkan pada abad-abad sesudahnya. Ketika ruh taklid menyelimuti abad ini (ke 4 hijriah dan sesudahnya), ijtihad menjadi mandeg dan ulama kurang kreatif. Karena sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Hal ini ditambah dengan adanya kekayaan fiqih yang melimpah, berupa pengkodifikasian hukum fiqih dan dalil-dalinya, juga banyaknya mazhab dan hanya mentarjih yang rajih (kuat) dari beberapa pendapat yang sering disebut dengan istilah al-fiqih al-muqaran (fiqih perbandingan mazhab). Kondisi ini mendorong ulama untuk membahas hukum suatu peristiwa baru hanya dengan berpegang kepada fiqih mazhab saja. Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M0 telah mengisyaratkan hal ini. Menurutnya ketika mazhab (aliran) setiap imam menjadi disiplin ilmu khusus bagi pengikutnya, dan mereka (para pengikut) tidak punya kesempatan atau tidak mampu untuk berijtihad dan melakukan qiyas, mereka memandang perlu melihat masalah-masalah yang serupa dan memilah-milahnya. Hal ini mereka lakukan ketika mengalami kesulitan dalam mengembalikan hukum furu' (cabang) kepada usul (pokok/kaidah) imam mazhabnya.

Dampak dari pemecahan masalah dengan menggunakan usul para imam mujtahid membuat ruang lingkup dan masalah-masalah fiqih menjadi semakin berkembang. Para ahli fiqih mulai membuat metode-metode baru dalam fiqih. Merekan menamakan metode-metode tersebut kadang-kadang dengan istilah qa'idah, dabit, furuq, algaz, mutarahat, ma'rifat al-Afrat dan hiyal. Dengan panjang lebar, para ahli fiqih mengkaji masalah furuq, qa'idah dan dabit. Ketika hukum furu' dan fatwa ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah fiqih dan dabit yang dapat memelihara hukum furu' dan fatwa ulama tersebut dari kekacauan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu al-Hasa al-Karkhi dalam risalahnya (usul al-Karkhi), dan Abu Zaid al-Dabusi dalam kitabnya Ta'sis al-Nazar dengan memakai istilah usul. Apabila usul tersbut mencakup berbagai masalah fiqih, maka disebut kaidah fiqih, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqih, disebut dabit. Perjalan sejarah menunjukkan bahwa fuqaha Hanafiyah menjadi orang pertama yang mengkaji qawa'id fiqhiyyah. Hal ini karena luasnya furu' yang mereka kembangkan. Di samping itu, dalam membentuk pondasi mazhab,fuqaha Hanafiyah mendasarkan pemikirannya kepada hukum furu' para imam mazhab nya. Misalnya, Muhammad bin al-Hasan al-Shaibani dalam kitabnya al-usul menyebutkan satu permasalah, lalu dirinya ia membuat banya hukum furu' yang sulit dihapal dan diidentifikasi kondisi ini mendorong fuqaha Hanafiyah untuk membuat kaidah fiqih dan dabit. Pengumpulan kaidah fiqih dalam mazhab Hanafi dilakukan pertama kali oleh Abu Tahir al-Dabbas, seorang ulama yang hidup pada abad ke 3 dan ke 4 hijriah. Demikian pendapat al-Suyuti, Ibn Nujaym dan lain-lain seperti kisah yang sudah penulis paparkan di atas.

Fase ketiga,  adalah fase pengkodifikasian kaidah fiqih yang telah mencapai puncaknya ketika di susun kitab Majallat al-Ahkam al-Adliyyah oleh sebuah komite fuqaha pada masa sultan al-Ghazi 'Abd al-Aziz Khan al-Uthmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H). Kitab Majallat al-Ahkam al-Adliyyah ini menjadi referensi lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.

Para fuqaha memasukkan kaidah fiqih pada majalah ini setelah terlebih dahulu mempelajari sumber-sumber fiqh dan beberapa karya tulis tentang ilmu kaidah fiqih, sperti al-Ashbah wa al-Nazair karya Ibn Nujaym dan Majami' al-Haqaiq karya al-Khadimi. Mereka sangat selektif dalam memilih dan memilah kaidah fiqih yang akan dimasukkan ke dalam majalah. Mereka menyusun majalah ini dengan menggunakan redaksi yang singkat dan padat seperti undang-undang. Eksistensi majalah dapat mengangkat kdudukan dan popularitas kaidah fiqih. Majallat al-Ahkam al-Adliyyah memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan fiqih dan perundang-undangan.

Majallah merupakan tata hukum muamalah secara luas, kecuali soal hukum keluarga yang terdiri atas munakahat (pernikahan) dan fara'id (warisan), yang di atur secara terpisah dalam kitab lain tentang huquq al-Ailah (hukum keluarga). Kompendium ini terdiri atas enam belas (16) buku, dimulai dengan buku 1 tentang perdagangan (Buyu') dilanjutkan dengan masalah sewa-menyewa (buku 2 Ijarah), tentang perwalian (Buku 3 Kafalah), yang menyangkut tentang pemindahan utang (Buku 4 Hawalah), serta gadai (Buku 5 Rahn), beberapa buku selanjutnya mengatur soal-soal amanah (Buku 6 Amanah), soal Hibah (Buku 7 Hibbah), tentang perbuatan curang dan perusakan (Buku 8 Ghasab dan itlaf), kemudian soal larangan, pemaksaan, dan peringatan (Buku 9). Kemudian satu buku mengatur soal kerja sama usaha yang terdiri atas dua bentuk perserikatan dan bagian hasil (Buku 10 Shirkah dan Mudarabah), diteruskan dengan soal keagenan (Buku 11 wakalah). Empat Buku terakhit berkaitan dengan soal-soal penyelesaian sengketa dan prosedur berperkara (sulh dan ibra'), termasuk soal kompromi (Buku 12), soal pengakuan (Buku 13), gugatan atau dakwaan (Buku 14), tentang bukti dan sumpah (Buku 15), serta terakhir tugas dan wewenang hakim (Buku 16). Secara keseluruhan  majallah memuat 1851 pasal, dan di dahului dengan pasal-pasal tentang ketentuan (batasan-batasan) umum, baik pada setiap buku, maupun sebagai pendahuluan Majallah itu sendiri, yang berisi prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah fiqih yang di berlakukan, terdiri dari 99 pasal. Konpendium ini juga dilengkapi dengan daftar istilah (Glosarry) yang disusun secara alfabetis. Jumlah pasal yang mengatur soal transaksi di pasar merupakan yang paling banyak jumlahnya, misalnya buku 1 tentang perdagangan terdiri atas 300 pasal, Buku 2 tentang sewa-menyewa terdiri dari 207 pasal dan sisanya tersebar dalam berbagai masalah muamalah.

Kamus Mini :
  1. al-Furuq adalah masalah-masalah fiqih yang tampak sama dan mempunyai satu hukum, tetapi sebenarnya berbeda dan mempunyai hukum yang berbeda pula. ('Ali Ahmad al-Nadawi, alqawa'id al-fiqhiyyah, 134)
  2. al-Algaz adalah masalah-masalah yang hukumnya sengaja disembunyikan dengan tujuan untuk menguji, (sejenis teka-teki), (al-Hamawi, Gamzu 'Uyun al-Basair Syarh al-Ashbah wa al-Nazair)
  3. al-Mutaharat adalah masalah-masalah yang sulit dipahami dengan tujuan untuk melatih berfikir ('Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 134)
  4. Ma'rifat al-Afrat adlah mengetahui perkara-perkara yang sulit dari setiap mazhab ('Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 134).
  5. Hiyul adalah kecerdasan dan ketajaman berpikir. Maksud dari Hiyul dalam konteks ini adalah perkara yang direkayasa, sehingga seseorang tidak terkena kewajiban.
Sejarah Perkembangan dari al-Qawa'id al-Fiqhiyyah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

Post a Comment