Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah ( fiqh legal maxims ) berarti kaidah fiqih dan disebut juga kaidah syar'iyah yang berfungsi untuk memudahkan seorang mujtahid atau faqih ber- istinbat hukum terhadap suatu masalah dengan cara menggabungkan masalah yang serupa dibawah salah satu kaidah yang bisa dikaitkan. Kata (arab) qawa'id adalah bentuk jamak dari kata tunggal qa'idah yang berarti: "Sesuatu yang global atau unversal (kulliy-yah) yang bisa mencakup beberapa particular (juziyyah)". Secara etimologi, Kata kaidah dalam bahasa arab memiliki arti, yaitu : asas, pokok, tetap. Menurut al-Tahanawi Kaidah identik dengan asl, qanun, dabit, dan maqsad. ia selanjutnya mendefinisikan Kaidah dengan kalimat : "Suatu Kaidah Kulli (umum) yang bersesuaikan atas juziyyahnya (bagian bagiannya) yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyyah tersebut".
Para ulama membagi al-qawa'id (kaidah-kaidah) dan al-usul (pokok-pokok) dalam kajian studi islam kepada 3 bagian utama yaitu :
- Qawa'id al-istinbat wa al-ijtihad (kaidah deduktif dan ijtihad). yakni beberapa jalan atau metode yang menjadi patokan para mujtahid dalam mengetahui hukum-hukum lewat sumber-sumber syariat. ini desebut juga kaidah ilmu usul fiqih
- Qawa'id al-takhrij (kaidah-kaidah penetapan), yakni kaidah-kaidah yang diletakkan para ulama dalam periwayatan hadis dan kodifakasi al-sunnah, penerimaan keabsahan sanad-sanad dan penetapan hukum untuk bisa berpatokkan pada hadis sahih, meninggalkan hadis lemah dan mewaspadai hadis palsu
- Qawa'id al-ahkam, yakni kaidah-kaidah yang ditetapakan para ulama, terutama para ulama pengikut imam-imam mujtahid untuk mengkodifikasi hukum-hukum yang sejenis (serupa).
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, kaidah fiqih adalah "usul fiqhiyyah kulliyyah (dasar-dasar fiqih yang kulfi), menggunakan redaksi-redaksi singkat yang bersifat undang-undang, serta mencakup hukum-hukum syara' umum tentang peristiwa-peristiwa yang masuk ruang lingkupnya.
Selain definisi-definisi diatas, terdapat beberapa definisi lain yang dikemukakan para pakar ilmu kaidah fiqih, diantaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh 'Ali Ahmad al-Nadawi. ia mengemukakan dua definisi kaidah fiqih sebagai berikut : Pertama, "Hukum syara' tentang peristiwa yang bersifat aglabiyyah yang daripadanya dapat diidentifikasikan hukum berbagai peristiwa yang masuk dalam ruang lingkupnya". Kedua "Dasar fiqih yang kulfi, mengandung hukum-hukum syara' umum dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa yang masuk dalam ruang lingkupnya".
Ulama menyebutkan istilah yang berbeda-beda terhadap kaidah fiqih. Diantara mereka ada yang menyebut kaidah fiqih dengan istilah qadiyyah(proposisi), hukum, perkara, dan asal. Seluruh istilah yang mereka kemukakan ini tentunya mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Bagi ulama yang menyebuta kaidah fiqih dengan qadiyyah, karena memandang bahwa kaidah fiqih adalah aturan-aturan yang menampung perbuatan-perbuatan mukallaf. Kaidah fiqih merupakan aturan-aturan yang berkaitan langsung dengan perbuatan mukallaf, artinya bahwa yang menjadi ruang lingkup kaidah fiqih adalah perbuatan para mukallaf.
Sedangkan maksud ulama yang menyebut kaidah fiqih dengan al-amr atau "perkara" adalah supaya definisi yang dikemukakannya lebih mencakup luas. adapun ulama yang mendefinisikan kaidah fiqih dengan usul atau asal termasuk generasi belakangan, sehingga merekan terlebih dahulu dapat membandingkan definisi-definisi yang sudah ada. Kemudian mereka melihat bahwa pada dasarnya kaidah fiqih itu adalah aturan-aturan dasar tentng perbuatan mukallaf yang dapat menampung hukum-hukum syara'. Dengan demikian mereka memandang tepat apabila kaidah fiqih dengan asal atau hukum, karena dua hal itulah yang menjadi ciri utama dari kaidah fiqih.
Disiplin ilmu yang dikenal dengan al-Qawa'id al-Fiqhiyyah ini sering disebut dengan istilah al-ashbah wa al-Nazair. Nama ini diambil dari surat khalifah Umar ibn Khattab RA (w. 644 M) pada gubernur Abu Musa al-Ash'ari (w. 50 H) yang berbunyi :
"Sesungguhnya menetapkan sebuah keputusan peradilan adalah kewajiban yang pasti dan jalan yang harus ditempuh. Ketahuilah bahwa jika anda mendapati sebuah masalah, maka tidak akan ada manfaatnya anda berkata benar, jika tanpa pelaksanaan yang tidak menghalangi anda untuk memutusnya, kembalilah pada nuranimu dan ambil petunjuk dengan kecerdasan untuk kembali pada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran adalah qadim (ada sejak dulu/azali), meninjau kebenaran adalah lebih baik daripada bertahan dalam kebatilan (kepalsuan), gunakan pemahaman (kecerdasan) yang di qalbumu terhadap persoalan yang tidak sampai padamu (dalil) dari al-Qur'an dan sunnah. Kenalilah persoalan-persoalan yang mirip (al-amthal) dan serupa (al-ashbah), kemudian qiyaskan (analogikan) permasalahan yang ada dengan (persoalan-persoalan tersebut) melalui pendapatmu sendiri, maka berpeganlah pada apa yang allah cintai dan dengan sesuatu yang mendekati (menyerupai) kebenaran dalam semua pandangan (keputusan) anda".
Sedangkan menurut al-Hamawi (w.1098 H), yang dimaksud dengal al-Ashbah wa al-Nazair adalah "masalah-masalah yang saling menyerupai meskipun dalam hal hukumnya berbeda, karena sesuatu yang tersembunyi yang hanya dapat diketahui oleh ketajaman berpikir para ahli fiqih. "mereka telah menyusun kitab-kitab yang menjelaskan masalah tersebut, seperti kitab al-furuq karya al-mahbubi (w.630 H) dan al-Karabisi (w.570 H).
Sebelum lebih dalam dan luas memahami kaidah-kaidah fiqih, sudah seharusnya dipahami terlebih dahulu jatidiri dan identitasnya. Karena setiap disiplin ilmu memiliki sepuluh identitas yang sering disebut dengan al-Mabadi al-Ashrah. Sepuluh identitas disiplin ilmu kaidah fiqih adalah sebagai berikut :
- al-Hadd (definisi): sebuah qanun (aturan) yang dengannya bisa diketahui hukum-hukum kontemporer yang tidak dapat nas (dalil) dari al-Qur'an, al-Sunnah dan ijma'.
- al-Maudu' (Obyek kajian): kaidah-kaidah dan fiqih yang dikeluarkan dari kaidah-kaidahnya.
- al-Fa'idah atau al-Thamrah (manfaat): Menberi kemudahan dalam mengetahui hukum-hukum yang realita dan kontemporer tidak didapat nas dan memungkinkan untuk mengetahui furu' (cabang-cabang) fiqih dengan waktu cepat dan cara yang paling mudah lagi aman dari kebingungan dan keraguan.
- al-Masa'il (Bahasan): Beberapa persoalan (kaidah-kaidah) yang lahir dari persoalan furu' dari aspek aplikasi dan perkembangan.
- al-Ism (Nama): Ilmu al-Qawa'id al-Fiqhiyyah dan al-ashbah wa al-Nazair.
- al-Istimdad (Sumber rujukan): al-Qur'an, al-Sunnah, athar al-Sahabah (pendapat para sahabat Nabi SAW) dan aqwal (perkataan atau pendapat) para imam mujtahid.
- al-Hukm (Hukum mempelajari): Wajib kifayah atas sebuah komunitas masyarakat dan wajib ain bagi orang yang menempati posisi qada (peradilan).
- al-Nisbah ma'al-Ghayr (Kedudukan bersama displin lainnya): Merupakan salah satu bagian dari ilmu fiqih, bagian dari ilmu tauhid dan beberapa ilmu al-mubayinah (penjelas).
- al-Fadl (keutaman): termasuk ilmu yang amat mulia setelah ilmu tauhid, sebagaimana sabda Nabi SAW: "Barang siapa Allah kehendaki kebaikan baginya, maka ia akan Allah faqihkan (pahamkan) ilmu agama (Islam)" Artinya, al-tafaqquh atau memahami furu' (cabang-cabang) fiqih yang penting itu membutuhkan juga ilmu qawa'id.
- al-Wadi' (Peletak dasar): para imam mujtahid yang pakar dalam ilmu al-Furu'. Hanya saja, ilmu ini bermula dari beberapa ceceran tulisan (kitab) dan perkataan beberapa tokoh ulama sampai akhirnya datang imam Abu Tahir al-Dabbas dan al-Qadi Husayn yang memberi perhatian khusus dengan ilmu ini. Kemudian datang denerasi seperti ibn Abd al-Salam yang mulai mengkodifikasi (menulis) dalam ilmu ini
Penerbit: "Dr.H. Abbas Arfan, Lc., M.H."
Post a Comment