Hukum dasar fiqih muamalah disini adalah asas yang dapat dikatakan sebagai teori-teori yang membentuk hukum muamalah. Adapun asas atau dasar tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, asas Tabadul al-Manafi, yaitu bahwa segala sesuatu bentuk kegiatan muamalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlaq melainkan hanya sebagai pemilik hak manfaatnya saja berdasarkan firman Allah Swt : "Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi serta apa apa yang ada di antara keduanya (Al-Maidah-17)".
Kedua, asas pemerataan dan keadilan, yaitu asas berupa prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang menghendaki agar harta tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata di antara masyarakat baik kaya maupun miskin, oleh karna itu dibuatlah hukum zakat, shadaqah, infak dan sebagai. Namun keadilan ekonomi dalam islam tidak hanya dalam perputaran harta. Keadilan dalam islam memiliki implikasi sebagai berikut :
- Keadilan sosial, Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga. Karena itu, semua anggota keluarga ini mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah, Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, demikian juga tidak membedakan yang hitan maupun yang putih. secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan, dan pelayanannya pada kemanusiaan. Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya allah tidak melihat pada wajah dan kekayaanmu, tapi pada hati dan perbuatan yang ikhlas". (HR Ibnu Majah No. 4133, dalam kitab Zuhud)). Sifat-sifat tersebut merupakan cerminan dan ketakwaan seseorang lebih tegas lagi, rasulullah menekankan akibat buruk dari diskriminasi hukum. Bila orang terpandang mencuri maka dibebaskan atau dipermudah hukumannya, tapi jika yang mencuri itu orang-orang biasa maka hukumannya diberatkan, sehubungan dengan ini, rasulullah Saw bersabda: "Andaikan Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya". (HR an-Nasai nomor 4814 dalam kitab Qath'u as-sariq).
- Keadilan Ekonomi, konsep Persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum, harus di imbangi dengan keadilan sosial kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individupun harus terbebaskan dari eksploitasi individu lainnya. Islam melarang tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain: "Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan". (Asy-Syu'ara':183). Konsep keadilan islam mengharuskan setiap orang mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak atau bagian orang lain. Rasulullah Saw mengingatkan dalam surah: "Wahai manusia, takutlah akan kezaliman (ketidak adilan) sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada hari pembalasan nanti". (HR imam Ahmad, no 5404, dalam Musnad al-Mukaththirin min al-Sahabah).
- Keadilan distribusi pendapatan, Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat, berlawanan dengan semangat serta komitmen islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi. Kesenjangan harus di atasi dengan menggunakan cara yang di tekankan islam. Di ataranya adalah dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Mengahapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu, 2. Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi, maupun konsumsi, 3. Menjamin basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat, 4. Melaksanakan amanah al-Takaaful al-ijtim'i atau social economic security insurance, dimana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.
Ketiga, Asas keridhaan atau kerelaan, asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antar muslim atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan disini dalam arti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalah atau kerelaan dalam menyerahkan benda yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalah lainnya.
Keempat, 'Adam al-Gharar (tidak ada unsur penipuan), asas ini bisa disebut asas kejujuran. Yaitu merupakan kelanjutan dari asas saling merelakan. Asas adamul gharar berarti bahwa setiap bentuk muamalat tidak boleh ada tipu daya atau yang menyebabkan sesuatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan, sebagaimana firman allah : "Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan bathil.." (QS. al-Baqarah: 188).
kelima, al-Bir wa al-Taqwa (asas kebaikan dan ketaqwaan), asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat yang dilakukan oleh umat muslim adalah untuk tolong menolong antar sesama manusia dalam rangka al-bir wa taqwa yakni kebajikan dan ketaqwaan dalam berbagai bentuknya: "Dan tolong menolong lah kamu dalam kebajikan dan taqwa dan jangan lah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan, dan bertaqwalah kamu kepada allah, sesungguhnya amat berat siksa allah".
Keenam, asas Musharakah, asas ini menghendaki bahwa setiap bentuk muamalah adalah musyarakah yakni kerja sama antar pihak yang saling menguntungkan tidak hanya antar pihak yang terlibat melainkan juga bagi seluruh masyarakat manusia. Sedangkan al-Qadawi menetapkan tujuh kaidah dasar bagi fiqih muamalah yaitu :
- Hukum asal bagi muamalah adalah boleh
- yang jadi patokan adalah maksud yang di tuju dan bukan lahiriyah lafad belaka
- Keharaman mengambil harta orang lain dengan cara batil
- Tidak boleh ada kemudharatan
- Landasan keringanan dan kemudahan
- Pertimbangan darurat dan kebutuhan
- Pertimbangan adat dan kebiasaan, selama tidak bertentangan dengan syariat.
Post a Comment